Thursday, April 8, 2010

JaLan Lagi. Speck van Licht oude herinneringen.


Minggu, 01 Nopember 2009 mengawali langkah kami untuk kembali ke masa pra sejarah, masa colonial, sampai masa kemerdekaan bangsa ini. Kami bergerak menuju ke Kawasan Wisata Kota Tua Jakarta sebagai upaya kami dalam mengambil bahan tugas kampus untuk presentasi mata kuliah Character Building atau yang biasa kami sebut “Cabul”.


Berangkat dari Kota Tangerang pukul 07.00 pagi saya, Ame, Neng, Romy, Luthfia, dan Win meluncur mengendarai sepeda motor membelah jalan beraspal menuju Kota Jakarta. 1 jam perjalanan akhirnya kami tiba di Museum Sejarah Jakarta. Disini kami akan mengambil info tentang karakter orang-orang tua kita dahulu mulai dari masa pra sejarah hingga perjuangan dan kegigihan mereka dalam merebut kemerdekaan bangsa, serta kami juga mengambil info seberapa minat dan antusias anak muda sekarang untuk ikut melestarikan sejarah dengan mengunjungi museum.


Berhubung ketika kami datang museum belum menerima kunjungan, seperti biasanya kami beria-ria di depan kamera. Sekaligus mengambil gambar beberapa bangunan yang masih kokoh berdiri meski beban zaman terus menghinggapi bangunan di kawasan wisata ini meski sebagian lainnya telah hancur dimakan usia.


Di lapangan depan museum atau yang disebut Staadhuisplein pada era penjajahan, ramai dipenuhi oleh mereka yang masih setia dengan museum atau mereka yang asyik saja menikmati seni arsitektur colonial atau mereka yang tengah mengambil foto untuk acara pernikahan mereka atau yang biasa kita kenal dengan sebutan pre wedding.


Begitu pintu museum dibuka kami bergegas masuk ke dalamnya. Dengan menunjukkan kartu mahasiswa kami dapat separuh harga tiket masuk. Semua tempat wisata di Jakarta yang dikelola oleh Pemerintah Jakarta pasti memberikan harga khusus untuk kalangan pelajar dan mahasiswa. Kami langsung menyewa seorang pemandu wisata atau tour guide untuk memandu kami berkeliling ke seluruh isi museum sekaligus kami akan menggali info tentang kesehariannya.


Kami diajaknya berkeliling museum, dan dijelaskan secara terperinci dari setiap benda-benda bersejarah yang terdapat di dalam museum. Sesekali kami juga bertanya tentang keseharian beliau, dan pekerjaan yang dilakukannya. Kami lupa nama tour guide yang satu ini, hanya saja kami memanggil dirinya dengan sebutan Abang. Sosok yang ramah, low profile, mudah berbaur dengan kami, sederhana, dan senang menerima masukan yang kami berikan.


Dalam peta lama Batavia, Gedung Museum Sejarah Jakarta pada zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie ) atau Perserikatan Dagang Hindia Belanda ini merupakan gedung Staadhuis atau Balaikota. Didirikan oleh Jendral Jan Pieterzoon Coen, seorang pendiri Batavia. Staadhuis ini terletak di selatan Staadhuisplein atau lapangan Balaikota. Di bagian timur berbatasan dengan Tijgersgracht atau Terusan macan yang kini dikenal sebagai Jalan Lada dan Jalan Pos Kota. Sedangkan di bagian barat berbatasan dengan De Binnen Nieuw Poortstraat, atau yang sekarang lebih dikenal dengan Jalan Pintu Besar Utara.


Pada tanggal 25 Januari 1701 gedung Balaikota Lama dibongkar dan dibangun gedung baru seperti yang ada sekarang ini. Pembangunan gedung berada dibawah kepemimpinan Pemerintah Gubernur Jendral Joan van Hoorn, hingga pembangunan diselesaikan dibawah Pemerintah Gubernur Jendral Abraham van Riebeeck pada tanggal 10 Juli 1710. selain sebagai Staadhuis atau Balaikota, gedung ini juga menjadi Raad van Justitie atau Dewan Pengadilan dan juga sebagai College van Schepen atau Dewan Kotapraja yang memnangani berbagai perkara pidana dan perdata antar warga Batavia. Bagi para terdakwa suatu perkara yang akan diadili diharuskan mendekam dalam penjara bawah tanah dengan tangan dirantai. Bagi yang terbukti melakukan kejahatan atau dianggap memberontask terhadap Pemerintah Belanda maka salah satu hukuman yang diberlakukan adalah hukuman gantung didepan Staadhuis. Seperti umumnya gedung-gedung balaikota yang terdapat di Eropa yang dilengkapi lapangan, Staadhuis ini juga memiliki lapangan dengan nama Staadhuisplein.


Tahun 1937 Yayasan Oud Batavia mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah Batavia. Yayasan kemudian membeli gedung perusahaan Geo Wehry & Co yang terletak di Jalan Pintu Besar Utara No. 27 atau gedung Museum Wayang sekarang ini. Gedung tersebut dibangun kembali sebagai Oud Batavia Museum atau Museum Batavia Lama dan pada tahun 1939 dibuka untuk umum. Pada mas Kemerdekaan Indonesia, nama museum berubah nama menjadi Museum Djakarta lama dibawah naungan Lembaga Kebudayaan Indonesia. Tahun 1968 Museum Jakarta Lama diserahkan kepada Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan pada tahun 1970 gedung ini mengalami pemugaran. Kemudian pada tanggal 30 Maret 1974 oleh Ali Sadikin - Gubernur DKI Jakarta saat itu, diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta. Dan beliau mencanangkan Program revitalisasi Kota Tua. Dan ditahun 1973 Pemerintah DKI Jakarta mengganti nama lapangan Staadhuisplein menjadi Taman Fatahillah untuk mengenang Panglima Fatahillah pendiri Kota Jakarta. Dan museum ini pun lebih dikenal di kalangan masyarakat luas dengan nama Museum Fatahillah. Secara umum, kawasan Kota Tua mempunyai luas 864 hektar yang mencakup wilayah Jakarta Kota dan sekitarnya. Mulai dari seputaran Kawasan Glodok hingga Pelabuhan Sunda Kelapa yang berada di Muara Angke – Jakarta Utara. Dan museum yang terletak di Jakan Taman Fatahillah No. 2 jakarta Barat ini sendiri mempunyai luas lebih dari 1.300 meter persegi.


Di bagian taman dalam gedung museum terdapat sebuah patung Dewa Hermes, perlambang Dewa Keberuntungan, Dewa Pelindung Kaum Pedagang dan Dewa Pengirim Berita dalam kepercayaan Mitologi Yunani. Patung ini diberikan oleh keluarga Ernest Stolz kepada Pemerinta Batavia sebagai ucapan terima kasih atas kesempatan yang diperolehnya untuk dapat berdagang di Hindia Belanda.


Salah satu dari peninggalan bersejarah lainnya yaitu Meriam Si Jagur. Dibuat di Macao – Republik Rakyat Cina. Meriam kemudian dibawa ke Malaka – Malaysia, ketika armada Portugis saat itu berhasil menguasai wilayah Malaka. Tahun 1641 armada Belanda kemudian membawa meriam ini ke Batavia. Meriam Si Jagur memiliki berat 3,5 ton dan panjang badan meriam 3,84 meter dengan diameter laras 25 sentimeter. Ada rumor yang beredar bahwa meriam ini melabangkan kesuburan, karena bentuk pucuk meriamnya yang berupa tangan manusia, atau dari tulisan yang terdapat di badan meriam yang bertuliskan Ex me ipsa renata sum yang berarti Dari diriku sendiri, aku dilahirkan lagi.


Dibagian bawah gedung Musium jakarta terdapat bunker yang digunakan sebagai kamar tahanan. Berukuran 3x3 meter dengan ketinggian hanya sekitar 1 meter ini dapat menampung beberapa orang narapidana. Ketebalan tembok tahanan mampu menahan kokoh dari desingan peluru senjata api. Bunker ini tidak memiliki pintu seperti penjara pada umumnya saat ini, para tahanan akan dirantai kedua kaki dan kedua tangannya dan diikatkan oleh sebuah bola-bola beton yang sangat berat.


Selesai mewawancarai dan berkeliling museum kami istirahat sejenak sambil menikmati jajanan yang banyak terlihat di sepanjang jalan di himpitan gedung-gedung lama. Kemudian kami melanjutkan perjalanan kami ke Taman Margasatwa Ragunan – Jakarta Selatan.


Sengatan matahari yang begitu terik tak menghalangi niat kami untuk tetap melanjutkan perjalanan kami. Meski sempat tersasar di wilayah Tebet namun akhirnya kami tiba juga di tempat tujuan walaupun sebenarnya keuangan dari kami telah menipis namun kami tetap tenang, sebab ada Ame dan Rommy. Mereka berdua dikenal royal kalau urusan jalan, akh soal gampang...nanti pinjam saja….!!!!!. Disini kami bersantai-santai sambil menikmati teduhnya Jakarta dengan pepohonan yang begitu lebat dan rindang yang sudah jarang sekali ditemui di sudut-sudut Kota Jakarta.


Ada yang membuat kami penasaran, didalam Kebun Binatang ada beberapa orang menawarkan jasa foto sambil memegang ular. Satu kali foto kalau tak salah dipatok Rp. 2000. Saya pribadi penasaran namun jujur saya takut dengan ular, namun melihat salah seorang teman saya (wanita pula, Luthfianti) berani untuk berpose dengan ular, rasa takut itu pun hilang tinggal penasaran saja.aku kalungkan ular di leher aku dan teman ku pun sibuk mengabadikan di dalam digital kamera.


Puas berkeliling kami istirahat sejenak di serambi masjid selepas Shalat. Dan tak lama kami pulang ke Kota Tangerang tercinta.

1 comment:

Please leave a comment 4 this page