Thursday, April 8, 2010

DODAIDI, more than songs of Lullaby


Berdasarkan namanya, Dodaidi berasal dari dua kata dalam bahasa Aceh, yaitu doda dan idi. Doda atau peudoda yang berarti bergoyang. Dan idi atau dodi yang berarti berayun.

Lagu-lagu dari Dodaidi adalah puisi tradisional Aceh. Serupa dengan puisi tradisional Aceh lainnya yang lebih tua, umumnya pencipta dan pengarang lagu dari Dodaidi tidak diketahui (anonim).
Lagu-lagu dari Dodaidi yang disusun dalam empat baris dari setiap kuplet dengan sajak a-a-a-a atau a-b-a-b. Dalam beberapa kasus seluruh baris memiliki makna berdiri sendiri, sementara pada orang lain makna dan maksud dari baris tersebut dijelaskan dalam dua baris terakhir, meninggalkan dua baris pertama tanpa interpretasi langsung. Kedua contoh di bawah ini menunjukkan perbedaan dari kedua bentuk.

Lailahaillallah

Nabiyullah ka neuwafeut

Leupah nabi neuwoe bak Tuhan

Tinggai Kuru`an deungon seulawuet

Do idi ku doda idang

Geulayang blang ka putoh taloe

Rayeuk sinyak Banta Seudang

Jak bantu prang ta bela nanggroe


( La ilaha illa'llahu

Nabi Allah telah meninggal dunia

Setelahnya Nabi kembali kepada Allah

Meninggalkan Al-Quran dengan Shalawat

Do idi ku doda idang

Layang-layang di langit terputus talinya

Cepatlah besar wahai anakku, oh Banta Seudang!

Ikut bantu berperang untuk membela bangsa )


Lirik lagu dari Dodaidi untuk orang-orang Aceh tidak hanya sebagai lagu nina bobo pengantar tidur untuk mengirim anak-anak tidur, tetapi juga memiliki tujuan lain tertentu. Sebagai masyarakat yang religius, Aceh juga menggunakan lagu sebagai media pendidikan agama bagi anak-anak. Selanjutnya beberapa lagu berisi epik dengan harapan dan bujukan dari ibu atau ayah kepada bayinya untuk mengambil bagian dalam perang suci (Syahid) di masa mendatang.


Konsep dasar pendidikan Islam menganggap bahwa proses pendidikan mulai dari bayi usia dini sampai kematian seseorang. Mungkin konsep pendidikan seumur hidup ini telah mengilhami tradisi Aceh untuk menambahkan pesan pendidikan dalam lagu Dodaidi. Tentu saja, metode ini juga diakui dalam konsep pendidikan modern seperti yang diterapkan dalam gaya bermain-kelompok melalui lagu pengantar tidur yang berbeda.

Dalam Islam, memperkenalkan pendidikan agama adalah kewajiban bagi orang tua. Itulah sebabnya pesan agama selalu ditemukan dalam lagu Dodaidi. Konsep tujuan yang utama adalah untuk memperkenalkan anak-anak dengan Allah dan ajaran-ajaran Islam. Oleh karena itu umumnya semua lagu dari Dodaidi diawali oleh nama-nama Allah, seperti "Allah hai dodaidi". Sedangkan yang lainnya dimulai dengan frasa lengkap melafadzkan ke-Esaan Allah, seperti, “Laa Ilaaha Illallah”, tidak ada Tuhan selain Allah.

Meskipun lagu-lagu yang termasuk kategori lagu anak-anak, dengan bentuk yang sederhana, tetapi tidak berarti bahwa isi lagu-lagu yang begitu mudah dimengerti oleh anak-anak. Dalam beberapa kasus, kita juga dapat menemukan konsep-konsep tasawuf dalam lagu. Tentu saja lagu-lagu seperti ini perlu apresiasi mendalam untuk menafsirkannya dan menikmatinya.


Laa Ilaaha Illallah

Kalimat Thayibah bekai ta mate

Meunyo han ek le takheun ngon lidah

Allah, Allah di dalam hate


( Laa Ilaaha Illallah

Kalimat Thayibah bekal di waktu mati

Jika tidak bisa melafalkannya dengan lidah

Allah, Allah di dalam hati )


Dengan lagu jenis ini, anak-anak terbiasa dengan sesuatu yang berhubungan dengan Islam melalui sajak dari lagu. Tentu saja, mereka akan menghargai orang tua mereka dan bangga jika mereka dapat menyanyikan lagu dengan lancar. Namun anak-anak serta kekaguman dari orang tua mereka, kadang-kadang kekaguman ini juga disajikan dalam lagu-lagu dari Dodaidi seperti ditunjukkan di bawah dalam kalimat pertama.

Oh rayeuk gata, bungong jeumpa, aneuk rupawan

Meubek talawan, aneuk badan ayah deungon ma.


( Oh kapankah engkau tumbuh besar, Bunga Cempaka, anakku rupawan

Janganlah membangkang, belahan jiwa ibu dan ayah )


Dalam kasus lain, ibu secara emosional juga dapat mengekspresikan pesimis tentang masa depan anaknya karena kelemahannya dalam sosial atau ekonomi dibandingkan dengan orang lain.


Allah hai do doda idi

Boh gadong bi boh kayee uteun

Rayeuk sinyak hana peue ma bri

Ayeb ngon keuji ureung donya kheun.


( Allah hai do doda idi

Buah gadong dan buah-buahan kayu dari hutan

Cepat besar anakku, tapi tak ada yang dapat ibu berikan

Aib dan keji orang mengatakan )


Pesimis ini juga dapat merangsang ibu untuk mendukung anaknya membantu masyarakat atau bangsa, semisal dalam perang suci seperti yang ditunjukkan di bawah ini.

Allah hai do doda idang

Seulayang blang ka putoh taloe

Beurijang rayeuk muda seudang

Tajak bantu prang tabela nanggroe.


( Allah hai do doda idang

Layang-layang di langit telah putus talinya

Cepatlah besar anakku, oh Banta Seudang!

Ikut bantu berperang untuk membela bangsa)


Pada contoh di bawah dapat disimpulkan bahwa ibu juga dapat mendukung suatu semangat luar biasa kepada anaknya


Wahee aneuk meubek taduek le

Beudoh saree tabela bansa

Bek tatakot keu darah ilee

Adak pih mate poma ka rela.


( Bangunlah anakku, janganlah duduk kembali

Berdiri bersama pertahankan bangsa

Jangan pernah takut walaupun darah harus terbuang

Sekiranya engkau mati, ibu telah rela)


Pada contoh selanjutnya sang ibu menggambarkan akan bayang-bayang kampung halaman kepada anak. Agar sekiranya nanti merantau jauh kemanapun juga supaya ingat kembali ke kampung halaman.


Allah hai Pho Ilaahon haq

Gampong jara` hantroh loen woe

Adakna bulee ulon teureubang

Mangat rijang trok u nanggroe


( Allah itu Tuhan Yang Benar

Kampung yang jauh tiada tara, aku akan pulang

Andaikan punya sayap aku kan terbang

Agar lekas sampai di kampung halaman )


Dapat dikatakan bahwa lagu tersebut sangat menggelisahkan dan mengeksploitasi anak-anak dalam gerakan politik. Namun, itu benar, puisi tradisional Aceh hampir tidak dapat dipisahkan secara jelas antara tujuan estetika dan politik. Salah satu contoh yang mendukung argumen ini adalah Hikayat Prang Sabi (The Holy War Epic) yang ditulis oleh Teungku Chik Pante Kulu di pertengahan abad ke-19. Epik ini membakar jiwa semua generasi muda Aceh untuk berpartisipasi dalam Perang Aceh (1873-1942) melawan kolonialisme Belanda dan penjajah Jepang selama 1942 sampai 1945. Ada kemungkinan bahwa lagu-lagu Dodaidi disusun untuk tujuan yang sama, tetapi bentuk dan kata-kata yang digunakan dalam lagu-lagu disesuaikan pada bahasa anak-anak dibandingkan dengan Hikayat Prang Sabi. Ketika Hikayat Prang Sabi telah membakar darah muda Aceh untuk berpartisipasi secara penuh dalam perang suci, lagu-lagu Dodaidi setidaknya dapat mempengaruhi ideologi anak-anak Aceh untuk mendukung mereka.

Beberapa orang mungkin tidak setuju dengan jenis puisi yang mengandung tujuan politik, terutama bagi mereka yang dapat merangsang orang untuk terlibat dalam misi tertentu, seperti perang suci.
Namun titik estetika kami juga tidak bisa mengabaikan pandangan yang terkandung dalam puisi. Itulah sebabnya kami membutuhkan lebih banyak penelitian untuk menemukan rahasia di balik seperti puisi tradisional Aceh. Dengan cara ini, puisi tradisional Aceh seperti lagu-lagu Dodaidi dan yang lainnya dapat untuk terus memupuk semangat berkebudayaan. Ini akan menjadi penting ketika puisi sejenis yang telah dilupakan oleh masyarakat mereka karena terpengaruh oleh modernisasi.

1 comment:

  1. Bek tatakot keu darah ilee
    Adak pih mate poma ka rela

    Kata-kata yang hanya bisa keluar dari mulut seorang ibu yang luar biasa

    *menangis saya dengar lagu ini

    ReplyDelete

Please leave a comment 4 this page